RESPON CEPAT PENANGANAN KASUS GIGITAN HEWAN PEMBAWA RABIES
penulis: drh. Maria Clara Wahyu Putri Ayu
editor: drh. Sri Panggarti
Salah satu Penyakit Hewan Menular Strategis (PHMS) yang diwaspadai adalah Rabies. Rabies, atau disebut juga penyakit anjing gila, merupakan penyakit hewan yang disebabkan oleh virus Rabies (Genus: Lyssavirus) yang menyerang system saraf pusat hewan berdarah panas, terutama mamalia (seperti , dan manusia. Pada hewan yang terinfeksi virus Rabies, virus ini terdapat pada air liur hewan dan dapat ditularkan ke manusia melalui perlukaan dan gigitan hewan yang terinfeksi. Rabies perlu diwaspadai karena merupakan salah satu penyakit hewan yang bersifat zoonosis (penyakit dapat menular dari hewan ke manusia dan sebaliknya) dengan tingkat kematian hampir 100%. Kementerian Kesehatan (2020) mencatat angka kematian akibat Rabies di Indonesia berkisar antara 100-156 kematian per tahun dengan total angka kematian dalam lima tahun terakhir adalah 544 kematian.
Indonesia merupakan salah satu negara berkembang di dunia yang masih berjuang melawan rabies. Rabies pertama kali dideteksi di Indonesia pada tahun 1884, sedangkan pada manusia pada tahun 1894 (Adjid, 2005). Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian (2019) mencatat hanya 8 dari 34 provinsi yang bebas penyakit Rabies, yaitu Kepulauan Riau, Bangka Belitung, DKI Jakarta, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Timur, Papua Barat, dan Papua (Gambar 2).
Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta mendapatkan status Bebas Penyakit Rabies melalui Keputusan Menteri Pertanian Nomor 892/Kpts/TN.560/9/97 pada tanggal 9 September 1997. Meskipun merupakan salah satu provinsi yang Bebas Penyakit Rabies, bukan berarti tidak perlu waspada dengan penyakit rabies. Masih adanya provinsi lain yang berstatus endemik rabies dalam satu pulau (Jawa Barat dan Benten) serta adanya arus lalu lintas Hewan Pembawa Rabies (HPR) seperti anjing, kucing, dan kera yang melewati Provinsi DIY dapat memungkinkan terjadinya kembali penularan kasus rabies di DIY sehingga perlu dilakukan monitoring kasus rabies antar HPR dan pada HPR kemanusia di daerah DIY, termasuk Kota Yogyakarta.
Strategi Pemberantasan Rabies pada daerah yang Bebas Penyakit Rabies terdiri dari 5 kegiatan, yaitu Tata laksana Kasus Gigitan Terpadu (Takgit), Vaksinasi Masal, Komunikasi, Informasi, dan Edukasi (KIE), pengawasan lalu lintas hewan, dan Manajemen Populasi Anjing (MPA) (Ditjen PKH Kementerian Pertanian, 2019). Takgit merupakan bentuk koordinasi dan kerjasama teknis antara petugas kesehatan dan kesehatan hewan, di mana petugas kesehatan melaporkan adanya kasus gigitan HPR kepada petugas kesehatan hewan yang kemudian melakukan investigasi lapangan berdasarkan hasil laporan. Diharapkan hasil dari investigasi lapangan oleh petugas kesehatan hewan menjadi informasi umpan balik bagi petugas kesehatan untuk tindakan selanjutnya.
Dalam pelaksanaan Takgit di Kota Yogyakarta, Dinas Pertanian dan Pangan Kota Yogyakarta bekerjasama dengan Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta, Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan (DPKP) DIY, Balai Besar Veteriner Wates (BBVET Wates), dan wilayah setempat.
Penanganan Kasus Gigitan Hewan Pembawa Rabies di Kota Yogyakarta Tahun 2021
Kasus Gigitan Hewan Pembawa Rabies (HPR) di Kota Yogyakarta sampai bulan Juni 2021 adalah sebanyak 2 kasus. Kasus terbaru terjadi pada tanggal 9 Juni 2021 di Kalurahan Wirogunan, Kemantren Mergangsan. Berdasarkan laporan Whatsapp yang didapatkan oleh petugas surveillance dari Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta, seekor anjing menggigit tangan pemiliknya secara tiba-tiba sebelum akhirnya mati. Penanganan pertama pada pemilik anjing adalah membersihkan bekas gigitan dengan air dan sabun, kemudian melaporkan adanya kasus gigitan kepada pihak Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta untuk diberikan Vaksin Anti Rabies. Setelah menerima laporan, petugas dari Dinas Pertanian dan Pangan Kota Yogyakarta langsung melakukan investigasi lapangan ke lokasi. Dari hasil wawancara dengan pemilik, diketahui bahwa anjing tersebut sudah diberikan vaksin rabies 3 tahun yang lalu. Sebelum kejadian, anjing tiba-tiba menggonggong dan kejang-kejang. Korban mencoba memegang kepala anjing untuk melepaskan tali rantai, tetapi anjing tersebut reflek menggigit. Kemudian anjing tersebut mengeluarkan busa dan kejang-kejang sebelum akhirnya mati. Dinas Pertanian dan Pangan kemudian berkoordinasi dengan pihak dari DPKP DIY dan BBVET untuk dilakukan investigasi apangan tambahan dan pengambilan sampel otak anjing untuk dilakukan uji Rabies FAT (Fluorescent Antibody Test) di Laboratorium Virologi BBVET Wates. Selain itu, dilakukan monitoring dan pengawasan terhadap HPR lain di sekitar lokasi kejadian. Hasil dari uji Rabies FAT Laboratorium Virologi BBVET Wates pada sampel otak anjing yang dilakukan oleh BBVET Wates adalah negatif rabies. Hasil tersebut kemudian disampaikan ke Dinas Pertanian dan Pangan Kota Yogyakarta untuk kemudian diteruskan ke Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta dan DPKP DIY.
Referensi:
Adjid, R.M.A.,Sarosa, A. , Syafriati, T., dan Yuningsih. 2005. "Penyakit Rabies di Indonesia dan Pengembangan Teknik Diagnosisnya." Wartazoa: 165-172.
Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian. 2019. Masterplan Nasional Pemberantasan Rabies di Indonesia. Jakarta: Kementerian Pertanian.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 8 dari 34 Provinsi di Indonesia Bebas Rabies.28 September 2020. https://www.kemkes.go.id/article/print/20092900001/8-dari-34-provinsi-di-indonesia-bebas-rabies.html (diakses pada tanggal 14 Juni 2021).